Senin, 09 Juli 2012

Bunga Sakura


Aku menatap bunga – bunga sakura yang mulai bermekaran di atas pohonnya. Sesekali angin meniupnya dan beberapa kelopaknya jatuh ke atas pangkuanku dengan indah. Aku menatap sakura yang jatuh ditanganku yang terbalut sarung tangan berwarna cokelat dengan takjub. Baru kali ini aku melihat bunga sakura bermekaran dengan mata kepalaku sendiri. Hari ini awal musim semi. Takashi, Yukiko dan Niki mengajakku ke festival musim semi di Tokyo. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali  meninggalkan Chiba untuk bisa mendapatkan kereta. Tak sia-sia harus berdesakan, kami bisa mengikuti festival sambil menikmati keindahan bunga sakura yang sedang bermekaran. Mirip dengan piknik keluarga.  
“Gomen, membuatmu menunggu lama, Maya-Chan.” Yukiko datang sambil membawa sepiring yakiniku, “Tadi ramai sekali, aku sampai harus berdesakan dengan yang lain” katanya sambil meletakkan yakiniku di depanku.
“Mana yang lain?” tanyaku sambil menggigit yakiniku, jajanan khas Jepang sambil berusaha mencari Takashi dan Niki. Yukiko mengangkat bahu. Sesaat dia merogoh tas kulitnya dan mengeluarkan kamera dari dalamnya. Dengan sangat cepat, dia memotretku sambil tertawa-tawa.
“Hey, itu illegal” kataku pura-pura memprotes tindakannya.
“Kalau tidak begini kapan lagi aku bisa mendapatkan fotomu” Yukiko nyengir nakal, “Seminggu lagi kan kau akan pulang ke Indonesia” katanya sambil cemberut. Aku menghentikan aktivitasku memakan yakiniku.
“Iya… tak terasa sudah 10 bulan aku disini” kataku sambil menerawang, memandang pohon sakura disampingku yang tinggi menjulang. Entah tiba-tiba saja aku teringat bagaimana perjuanganku untuk bisa sampai ke negeri sakura ini. Bagaimana kerja kerasku untuk bisa mengalahkan para pesaingku untuk bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang. Dan saat aku bisa disini, aku masih harus berjuang untuk bisa memenangkan persaingan maupun tekanan orang-orang terhadapku.
“Ohayou-Minna, Hajimemashite, watashi wa Maya Maharani desu ka. Indoneshia kara kimashita. Douzo yoroshiku onegai shimasu! (Selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Maya Maharani. Saya datang dari Indonesia. Senang berkenalan dengan Anda!)” Aku membungkuk dengan gugup saat harus memperkenalkan diri di depan teman-teman sekelas. Aku sadar, tak semua dari mereka yang menyukai kehadiranku. Mungkin mereka menganggapku terlalu aneh untuk mereka. Aku semakin dibuat heran dan terpana jika berada dalam lingkungan mereka. Aku sadar, mencari teman yang mampu mengerti budayaku itu sangat sulit. Jika bukan karena bantuan Niki, mungkin juga aku ikut terbawa arus bersama mereka.
“Mereka anggota Yakuza” kata Niki, “Kau harus berhati-hati memilih teman jika tak mau dipaksa memakai ini” Niki mengacungkan beberapa pil putih didepan wajahku. Aku agak terkejut juga dia mempunyai barang haram itu.
“Kau… pecandu?” tanyaku takut-takut.
“Mungkin..” Niki menerawang menatap lampu-lampu jalan, “Hanya jika aku merasa buruk….”
“Kenapa?”
“Kau akan lebih tahu jika memakainya” Balas Niki sambil menyeringai menakutiku. Aku agak menyingkir darinya, entah kenapa aku merasa takut jika dia juga ingin mempengaruhiku.
 “Tidak” Tolakku cepat, “Aku tak akan memakainya, barang itu perusak. Kau pasti juga tahu itu, kan ? Kusarankan kau menjauhi barang itu, Nik.” Kataku memberi saran. Niki tertawa hambar tanpa melihatku
“Kau tidak akan pernah bisa merasakan apa yang kurasakan karena memang kehidupan bukanlah seperti dinegeri dongeng yang selalu happy ending” katanya pelan, “Tapi….bagus juga kata-katamu, gaijin. Pertahankan terus ya!”
Aku tak suka dia memanggilku Gaijin yang artinya orang asing. Aku sudah 2 bulan disana dan kupikir itu waktu yang cukup untuk dianggap sebagai bagian dari mereka. Niki memberiku secarik kertas sebelum aku memasuki apartemen kecilku. “Bacalah” katanya padaku
“Aku tidak bisa membaca huruf katakana” kataku padanya setelah kuperhatikan tulisan di kertas itu, “Aku bisa membaca kanji dan hiragana. Tapi tak bisa membaca katakana” jelasku lagi. Niki tersenyum meremehkan lalu berjalan pergi.
“Jika kau sudah bisa membacanya, hubungi aku” katanya kemudian. Pemuda itu memang aneh. Namun dialah orang yang pertama kali menjadi sahabatku, baru kemudian Takashi dan Yukiko.
Takashi adalah seorang pemuda yang menyenangkan, walau terkadang dia sangat ceroboh. Aku berkenalan dengannya saat aku menolongnya dari cedera akibat bermain basket.
 “Tak kusangka kau ramah juga ya. Kupikir kau murid yang sangat sombong hanya karena kau murid pertukaran” katanya lagi
Aku tersenyum. “Di desaku keramah tamahan dan tolong menolong memang dijunjung tinggi” jelasku padanya
“Benarkan? Wah, sama seperti kekasihku, dong. Dia sangat ramah lho. Kau pasti akan bisa bergaul dengannya” katanya ceria. Dan memang benar. Aku langsung bisa akrab dengan Yukiko, kekasih Takashi. Kulitnya putih, rambutnya lurus sebahu dan matanya berwarna coklat alami. Dia sangat cantik. Dia jugalah yang selalu memberiku semangat untuk tidak menyerah menghadapi tantangan.
 “Kau ternyata sama seperti apa yang dikatakan rumor ya?”
“Rumor?”
“Iya, tentang pendapat bahwa orang Indonesia itu selalu ramah tamah” katanya Aku tersipu malu.
“Aku yakin kau bisa menahklukkan hati orang Jepang. Jangan menyerah, oke!” Yukiko tersenyum manis. Entah kenapa aku jadi teringat Anggi, teman terbaikku di sekolah. Senyumnya selalu ceria seperti Yukiko.
Ya, aku berjanji tidak akan berubah. Akan aku tahklukkan Jepang seperti janjiku pada Yukiko. Akan aku buktikan, aku mampu mengalahkan mereka semua dan membuat bangga Indonesia. Hingga akhirnya, penantianku berakhir. Sepuluh bulan di negeri orang, banyak pelajaran berharga yang kudapat disini. Salah satunya adalah jati diriku.
Aku selalu mencurahkan kekhawatiranku itu pada Niki. Dan dia selalu bisa membuatku kembali bersemangat dengan kata-katanya, walau terkadang dia sangat menyebalkan.
 “Jika kau bisa memegang prinsipmu, kau tidak akan terpengaruh” jawab Niki sambil memainkan selembar daun maple yang jatuh ditangannya. “Tapi aku yakin kau bisa. Kau kan, keras kepala” katanya lagi
Aku cemberut mendengarnya. Namun Niki benar aku harus memegang erat prinsipku untuk tidak terpengaruh budaya asing. Niki mengeluarkan bolpoint dari saku celananya dan menulis sesuatu di atas daun maple. Setelah itu dia meletakkannya diatas pangkuanku. Hurufnya sama seperti saat dia memberiku secarik kertas tempo hari.
“Bacalah” katanya
Aku mendegus kesal karena merasa diejek olehnya. “Aku tidak bisa membaca katakana” kataku sebal
Niki tersenyum meremehkan, “Aneh, kau bisa membaca kanji dan Hiragana tapi tak bisa katakana. Padahal sudah hampir 8 bulan kau disini” katanya
“Kau juga tak mau mengajariku, bagaimana aku bisa?” elakku
“Nanti juga kau bisa”
Semua yang diucapkan Niki menjadi penyemangatku untuk bertahan. Dia percaya aku bisa dan tidak terpengaruh budaya lain.
“Hai, Minna…! Maaf menunggu lama” Takashi dan Niki datang dari balik pohon sambil membawa dua bungkus ramen dikedua tangan mereka. “Tadi kami harus menunggu, antreannya panjang sekali sih” kata Takashi lagi. Niki memberiku ramen yang dibawanya.
“Arigatou” kataku.
“Yah, karena sudah lengkap mari kita rayakan keberhasilan Maya-Chan selama belajar disini… yeey!” Yukiko membuka tutup botol sake dan menuangkannya pada gelas Takashi dan Niki. Aku menolak saat dia mencoba menuangkannya digelasku.
“Tidak, terima kasih. Aku tidak minum alkohol” kataku padanya
“He, benarkah?”
“Ayolah, secangkir saja tak akan membuatmu mabuk” kata Takashi heran.
“Tidak, terima kasih. Aku dilarang meminum alkohol baik oleh negaraku maupun agamaku” kataku menjelaskan.
“Sudahlah, biarkan saja dia tidak mau minum. Kita harus menghargai budayanya” kata Niki membelaku
“Baiklah” Takashi mengangkat gelasnya ke udara. Yukiko yang mengerti maksudnya mengikuti tindakan Takashi. Mereka lalu berteriak bersama. “Untuk Maya-Chan!”
Dan merekapun membuang sake itu bersamaan ke belakang. Aku melongo, melihat tindakan mereka. Takashi dan Yukiko tertawa melihat ekspresiku. Sedangkan Niki hanya tersenyum melihat kekoyolan mereka.
“Kami sudah tahu kau akan bicara demikian. Oleh karena itu kami sengaja melakukan ini untuk persembahan terakhir” jelas Yukiko
Aku semakin melongo, kemudian tertawa. Mereka pun ikut tertawa. Angin menerbangkan kelopak-kelopak sakura di sekitar kami. Sungguh aku tidak akan melupakan saat-saat seperti ini.
*          *          *
Aku menatap awan-awan putih disampingku. Tepat dibawahku laut Cina selatan membentang luas. Hari ini aku kembali ke Indonesia. Takashi, Yukiko dan Niki mengantarku sampai ke bandara Narita. Yukiko menangis saat melepasku pergi. Dia terus mengingatkanku untuk selalu menghubunginya. Aku meyakinkannya bahwa aku tak akan lupa semua nasehat-nasehatnya. Sebelum pergi, Niki datang padaku dan memberiku sebuah origami kupu-kupu.
 “Bukalah” katanya
Aku cemberut melihat isinya, “Katakana lagi?” Tanyaku sebal. Dia tak menjawab dan kembali pada Takshi dan Yukiko. Orang itu memang aneh. Dia selalu mengejekku dengan tulisan katakana yang tidak aku mengerti.
“Pasti kertas itu dari sahabatmu ya?” Tanya seorang wanita Jepang disampingku.
“Eh, iya” kataku
“Dia pasti sangat mengidolakanmu hingga menuliskannya dalam bahasa katakana” katanya lagi
“Oh, tidak. Dia sangat menyebalkan” kataku sambil menunduk, “Jujur aku tak mengerti apa artinya karena aku tidak bisa membaca katakana. Apa Anda mengerti maksudnya?” tanyaku sambil menyodorkan kertas itu.
Wanita itu tersenyum lalu mengangguk. “Artinya, aku sangat tertarik dengan pribadi bangsamu yang selalu ramah. Kau tak perlu menjadi orang lain dimanapun kau berada.”
 Aku terpana, tak ku sangka Niki menulis kata itu padaku. Aku teringat wajahnya yang jahil saat melihatku kebingungan membaca katakana. Tiba-tiba saja aku merasa sangat berterima kasih padanya. Aku tak akan melupakan semua usahanya untuk mencambuk semangatku.
“Arigatou Niki”

*          *          *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar