Aku menatap bunga – bunga sakura yang mulai bermekaran
di atas pohonnya. Sesekali angin meniupnya dan beberapa kelopaknya jatuh ke
atas pangkuanku dengan indah. Aku menatap sakura yang jatuh ditanganku yang
terbalut sarung tangan berwarna cokelat dengan takjub. Baru kali ini aku
melihat bunga sakura bermekaran dengan mata kepalaku sendiri. Hari ini awal
musim semi. Takashi, Yukiko dan Niki mengajakku ke festival musim semi di
Tokyo. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan Chiba untuk bisa mendapatkan
kereta. Tak sia-sia harus berdesakan, kami bisa mengikuti festival sambil
menikmati keindahan bunga sakura yang sedang bermekaran. Mirip dengan piknik
keluarga.
“Gomen, membuatmu menunggu lama, Maya-Chan.” Yukiko
datang sambil membawa sepiring yakiniku, “Tadi ramai sekali, aku sampai harus
berdesakan dengan yang lain” katanya sambil meletakkan yakiniku di depanku.
“Mana yang lain?” tanyaku sambil menggigit yakiniku,
jajanan khas Jepang sambil berusaha mencari Takashi dan Niki. Yukiko mengangkat
bahu. Sesaat dia merogoh tas kulitnya dan mengeluarkan kamera dari dalamnya.
Dengan sangat cepat, dia memotretku sambil tertawa-tawa.
“Hey, itu illegal” kataku pura-pura memprotes
tindakannya.
“Kalau tidak begini kapan lagi aku bisa mendapatkan
fotomu” Yukiko nyengir nakal, “Seminggu lagi kan kau akan pulang ke Indonesia”
katanya sambil cemberut. Aku menghentikan aktivitasku memakan yakiniku.
“Iya… tak terasa sudah 10 bulan aku
disini” kataku sambil menerawang, memandang pohon sakura disampingku yang
tinggi menjulang. Entah tiba-tiba saja aku teringat bagaimana perjuanganku
untuk bisa sampai ke negeri sakura ini. Bagaimana kerja kerasku untuk bisa
mengalahkan para pesaingku untuk bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang. Dan saat
aku bisa disini, aku masih harus berjuang untuk bisa memenangkan persaingan
maupun tekanan orang-orang terhadapku.
“Ohayou-Minna, Hajimemashite, watashi wa Maya Maharani
desu ka. Indoneshia kara kimashita. Douzo yoroshiku onegai shimasu! (Selamat
pagi semua, perkenalkan nama saya Maya Maharani. Saya datang dari Indonesia.
Senang berkenalan dengan Anda!)” Aku membungkuk dengan gugup saat harus
memperkenalkan diri di depan teman-teman sekelas. Aku sadar, tak semua dari
mereka yang menyukai kehadiranku. Mungkin mereka menganggapku terlalu aneh
untuk mereka. Aku semakin dibuat heran dan terpana jika berada dalam lingkungan
mereka. Aku sadar, mencari teman yang mampu mengerti budayaku itu sangat sulit.
Jika bukan karena bantuan Niki, mungkin juga aku ikut terbawa arus bersama mereka.
“Mereka anggota Yakuza” kata Niki, “Kau harus
berhati-hati memilih teman jika tak mau dipaksa memakai ini” Niki mengacungkan
beberapa pil putih didepan wajahku. Aku agak terkejut juga dia mempunyai barang
haram itu.
“Kau… pecandu?” tanyaku
takut-takut.
“Mungkin..” Niki menerawang menatap lampu-lampu jalan,
“Hanya jika aku merasa buruk….”
“Kenapa?”
“Kau akan lebih tahu jika memakainya” Balas Niki sambil
menyeringai menakutiku. Aku agak menyingkir darinya, entah kenapa aku merasa
takut jika dia juga ingin mempengaruhiku.
“Tidak” Tolakku
cepat, “Aku tak akan memakainya, barang itu perusak. Kau pasti juga tahu itu,
kan ? Kusarankan kau menjauhi barang itu, Nik.” Kataku memberi saran. Niki
tertawa hambar tanpa melihatku
“Kau tidak akan pernah bisa merasakan apa yang kurasakan
karena memang kehidupan bukanlah seperti dinegeri dongeng yang selalu happy
ending” katanya pelan, “Tapi….bagus juga kata-katamu, gaijin. Pertahankan terus
ya!”
Aku tak suka dia memanggilku Gaijin yang artinya orang
asing. Aku sudah 2 bulan disana dan kupikir itu waktu yang cukup untuk dianggap
sebagai bagian dari mereka. Niki memberiku secarik kertas sebelum aku memasuki
apartemen kecilku. “Bacalah” katanya padaku
“Aku tidak bisa membaca huruf katakana” kataku padanya
setelah kuperhatikan tulisan di kertas itu, “Aku bisa membaca kanji dan
hiragana. Tapi tak bisa membaca katakana” jelasku lagi. Niki tersenyum
meremehkan lalu berjalan pergi.
“Jika kau sudah bisa membacanya, hubungi aku” katanya
kemudian. Pemuda itu memang aneh. Namun dialah orang yang pertama kali menjadi
sahabatku, baru kemudian Takashi dan Yukiko.
Takashi adalah seorang pemuda yang menyenangkan, walau
terkadang dia sangat ceroboh. Aku berkenalan dengannya saat aku menolongnya
dari cedera akibat bermain basket.
“Tak kusangka kau
ramah juga ya. Kupikir kau murid yang sangat sombong hanya karena kau murid pertukaran” katanya lagi
Aku tersenyum. “Di desaku keramah tamahan dan tolong
menolong memang dijunjung tinggi” jelasku padanya
“Benarkan? Wah, sama seperti kekasihku, dong. Dia sangat
ramah lho. Kau pasti akan bisa bergaul dengannya” katanya ceria. Dan memang
benar. Aku langsung bisa akrab dengan Yukiko, kekasih Takashi. Kulitnya putih,
rambutnya lurus sebahu dan matanya berwarna coklat alami. Dia sangat cantik. Dia
jugalah yang selalu memberiku semangat untuk tidak menyerah menghadapi
tantangan.
“Kau ternyata
sama seperti apa yang dikatakan rumor ya?”
“Rumor?”
“Iya, tentang pendapat bahwa orang Indonesia itu selalu
ramah tamah” katanya Aku tersipu malu.
“Aku yakin kau bisa menahklukkan hati orang Jepang.
Jangan menyerah, oke!” Yukiko tersenyum manis. Entah kenapa aku jadi teringat
Anggi, teman terbaikku di sekolah. Senyumnya selalu ceria seperti Yukiko.
Ya, aku berjanji tidak akan berubah. Akan aku tahklukkan
Jepang seperti janjiku pada Yukiko. Akan aku buktikan, aku mampu mengalahkan
mereka semua dan membuat bangga Indonesia .
Hingga akhirnya, penantianku berakhir. Sepuluh bulan di negeri orang, banyak
pelajaran berharga yang kudapat disini. Salah satunya adalah jati diriku.
Aku selalu mencurahkan kekhawatiranku itu pada Niki. Dan
dia selalu bisa membuatku kembali bersemangat dengan kata-katanya, walau
terkadang dia sangat menyebalkan.
“Jika kau bisa
memegang prinsipmu, kau tidak akan terpengaruh” jawab Niki sambil memainkan
selembar daun maple yang jatuh ditangannya. “Tapi aku yakin kau bisa. Kau kan,
keras kepala” katanya lagi
Aku cemberut mendengarnya. Namun Niki benar aku harus
memegang erat prinsipku untuk tidak terpengaruh budaya asing. Niki mengeluarkan
bolpoint dari saku celananya dan menulis sesuatu di atas daun maple. Setelah itu
dia meletakkannya diatas pangkuanku. Hurufnya sama seperti saat dia memberiku
secarik kertas tempo hari.
“Bacalah” katanya
Aku mendegus kesal karena merasa diejek olehnya. “Aku
tidak bisa membaca katakana” kataku sebal
Niki tersenyum meremehkan, “Aneh, kau bisa membaca kanji
dan Hiragana tapi tak bisa katakana. Padahal sudah hampir 8 bulan kau disini”
katanya
“Kau juga tak mau mengajariku, bagaimana aku bisa?”
elakku
“Nanti juga kau bisa”
Semua yang diucapkan Niki menjadi penyemangatku untuk
bertahan. Dia percaya aku bisa dan tidak terpengaruh budaya lain.
“Hai, Minna…! Maaf menunggu lama” Takashi dan Niki
datang dari balik pohon sambil membawa dua bungkus ramen dikedua tangan mereka.
“Tadi kami harus menunggu, antreannya panjang sekali sih” kata Takashi lagi.
Niki memberiku ramen yang dibawanya.
“Arigatou” kataku.
“Yah, karena sudah lengkap mari kita rayakan
keberhasilan Maya-Chan selama belajar disini… yeey!” Yukiko membuka tutup botol
sake dan menuangkannya pada gelas Takashi dan Niki. Aku menolak saat dia
mencoba menuangkannya digelasku.
“Tidak, terima kasih. Aku tidak minum alkohol” kataku
padanya
“He, benarkah?”
“Ayolah, secangkir saja tak akan membuatmu mabuk” kata
Takashi heran.
“Tidak, terima kasih. Aku dilarang meminum alkohol baik
oleh negaraku maupun agamaku” kataku menjelaskan.
“Sudahlah, biarkan saja dia tidak mau minum. Kita harus
menghargai budayanya” kata Niki membelaku
“Baiklah” Takashi mengangkat gelasnya ke udara. Yukiko
yang mengerti maksudnya mengikuti tindakan Takashi. Mereka lalu berteriak
bersama. “Untuk Maya-Chan!”
Dan merekapun membuang sake itu bersamaan ke belakang.
Aku melongo, melihat tindakan mereka. Takashi dan Yukiko tertawa melihat ekspresiku.
Sedangkan Niki hanya tersenyum melihat kekoyolan mereka.
“Kami sudah tahu kau akan bicara demikian. Oleh karena
itu kami sengaja melakukan ini untuk persembahan terakhir” jelas Yukiko
Aku semakin melongo, kemudian tertawa. Mereka pun ikut
tertawa. Angin menerbangkan kelopak-kelopak sakura di sekitar kami. Sungguh aku
tidak akan melupakan saat-saat seperti ini.
* *
*
Aku menatap awan-awan putih disampingku. Tepat dibawahku laut Cina
selatan membentang luas. Hari ini aku kembali ke Indonesia. Takashi, Yukiko dan
Niki mengantarku sampai ke bandara Narita. Yukiko menangis saat melepasku
pergi. Dia terus mengingatkanku untuk selalu menghubunginya. Aku meyakinkannya
bahwa aku tak akan lupa semua nasehat-nasehatnya. Sebelum pergi, Niki datang
padaku dan memberiku sebuah origami kupu-kupu.
“Bukalah” katanya
Aku cemberut melihat isinya, “Katakana lagi?” Tanyaku sebal. Dia tak
menjawab dan kembali pada Takshi dan Yukiko. Orang itu memang aneh. Dia selalu
mengejekku dengan tulisan katakana yang tidak aku mengerti.
“Pasti kertas itu dari sahabatmu ya?” Tanya seorang wanita Jepang
disampingku.
“Eh, iya” kataku
“Dia pasti sangat mengidolakanmu hingga menuliskannya dalam bahasa
katakana” katanya lagi
“Oh, tidak. Dia sangat menyebalkan” kataku sambil menunduk, “Jujur
aku tak mengerti apa artinya karena aku tidak bisa membaca katakana. Apa Anda
mengerti maksudnya?” tanyaku sambil menyodorkan kertas itu.
Wanita itu tersenyum lalu mengangguk. “Artinya, aku sangat tertarik
dengan pribadi bangsamu yang selalu ramah. Kau tak perlu menjadi orang lain
dimanapun kau berada.”
Aku terpana, tak ku sangka
Niki menulis kata itu padaku. Aku teringat wajahnya yang jahil saat melihatku
kebingungan membaca katakana. Tiba-tiba saja aku merasa sangat berterima kasih
padanya. Aku tak akan melupakan semua usahanya untuk mencambuk semangatku.
“Arigatou Niki”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar